“Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
‘Cinta yang murni yang bukan hanya terbatas oleh keinginan adalah cinta kepada Allah semata’
Rabiah Al-adawiyah dilahirkan ditengah keluarga miskin. Seisi rumahnya hanya dapat ditemukan barang yang memang benar-benar diperlukan saja bahkan konon mereka tidak memiliki setetes minyak (sejenis minyak telon) saja untuk menghangatkan perut anaknya, mereka tidak memiliki lampu untuk menerangi rumahnya. Ayahnya hanya bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan. Ayah Rabiah Adawiyah pantang untuk meminta-minta kepada orang lain walaupun kondisi ekonominya ditengah kehancuran dan mendekati kesengsaraan. Ayah Rabiah bernama Ismail, nama yang tidak begitu dikenal di wilayahnya, jauh dari kehidupan gemerlap kota Basra yang saat itu merupakan kota besar. Lebih baik mati daripada hidup meminta-minta kepada orang lain bagi Ayah Rabiah Adawiyah. Prinsip yang melekat dalam diri Ayah Rabiah selaku suami dari istri yang memiliki empat anak ini begitu kuat. Sang suami selalu yakin bahwa pertolongan Allah akan segera datang, Allah tidak pernah tertidur, Allah selalu akan menjaga dan melindungi istri dan anak-anaknya. Hingga suatu ketika Isterinya yang malang menangis sedih atas keadaan keluarganya yang serba memprihatinkan itu. Dalam keadaan yang demikian itu sang istri mengeluh kepada sang suami. Sang suami hanya dapat menekurkan kepala ke atas lutut hingga akhirnya ia terlena dalam tidurnya. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi. Nabi membujuknya: “Janganlah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku”. Kemudian Nabi meneruskan; “Besok, pergilah engkau menghadap ‘ Gubernur Bashrah, Isa az-Zadan dan tuliskan kata-kata berikut ini diatas sehelai kertas putih : ‘Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam Jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam Jum’at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal’”. Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabiah mengucurkan air mata seraya bersyukur kepada Allah karena ia yakin bahwa mimpinya adalah benar dan merupakan petunjuk dari Allah bagi hambanya yang beriman. la pun segera menjalankan petunjuk sebagaimana yang diperintahkan Nabi dalam mimpinya, ia menulis dan mengirimkannya tulisannya kepada gubernur melalui pengurus rumah tangga istana. Tidak lama setelah sang Gubernur mambaca surat tersebut, sang gubernur langsung mengirim utusannya untuk membagikan uang masing-masing dua ribu dinar kepada orang-orang miskin.
Seolah terhanyut dalam kebahagian dan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur karena sang gubernur merasa bahwa dia adalah orang yang istimewa di mata nabi maka ia memberikan hadiah uang empat ribu dinar kepada ayah Rabiah Adawiyah pada awalnya. Namun, setelah beberapa saat sang gubernur merasa tidak pantas hanya menghadiahkan uang dalam jumlah tersebut kepada kekasih Allah. Sang gubernur pun berjanji akan memberikan apapun yang dibutuhkan ayah Rabiah Adawiyah. Kemudian sang gubernur pergi menemui Ayah Rabiah Adawiyah dirumahnya dan membicarakan semua yang telah ia janjikan bagi ayah Rabiah Adawiyah. Selepas bapanya meninggal dunia, Basrah dilanda oleh kebuluran. Rabi’atul-adawiyyah berpisah dari adik-beradiknya. Suatu ketika kafilah yang beliau tumpangi itu telah diserang oleh penyamun. Ketua penyamun itu menangkap Rabi’atul-adawiyyah untuk dijadikan barang rampasan untuk dijual ke pasar sebagai abdi. Maka lepaslah ia ke tangan tuan yang baru.
Suatu hari, tatkala beliau pergi ke satu tempat atas suruhan tuannya, beliau telah dikejar oleh orang jahat. beliau lari. Tetapi malang, kakinya tergelincir dan jatuh. Tangannya patah. Beliau berdoa kepada Allah, “Ya Allah! Aku ini orang yatim dan abdi. Sekarang tanganku pula patah. tetapi aku tidak peduli segala itu asalkan Kau rida denganku. tetapi nyatakanlah keridaanMu itu padaku.” Tatkala itu terdengarlah suatu suara malaikat, “Tak mengapa semua penderitaanmu itu. Di hari akhirat kelak kamu akan ditempatkan di peringkat yang tinggi hinggakan Malaikat pun keheranan melihatmu.” Kemudian pergilah ia semula kepada tuannya. Selepas peristiwa itu, tiap-tiap malam ia menghabiskan waktu dengan beribadat kepada Allah, selepas melakukan kerja-kerjanya. Beliau berpuasa berhari-hari. Suatu hari, tuannya terdengar suara rayuan Rabi’atul-adawiyyah di tengah malam yang berdoa kepada Allah : “Tuhanku! Engkau lebih tahu bagaimana aku cenderung benar hendak melakukan perintah-perintahMu dan menghambakan diriku dengan sepenuh jiwa, wahai cahaya mataku. Jikalau aku bebas, aku habiskan seluruh waktu malam dan siang dengan melakukan ibadat kepadaMu. Tetapi apa apa boleh buat karena Kau jadikan aku hamba kepada manusia.”
Dilihat oleh tuannya itu suatu pelita yang bercahaya terang tergantung di awang-awangan, dalam bilik Rabi’atul-adawiyyah itu, dan cahaya itu meliputi seluruh biliknya. Sebentar itu juga tuannya merasa berdosa jika tidak membebaskan orang yang begitu dekat dengan Tuhannya. sebaliknya tuan itu pula ingin menjadi pengikut Rabi’atul-adawiyyah. Esoknya, Rabi’atul-adawiyyah pun dipanggil oleh tuannya dan diberitahukan tentang keputusannya hendak menjadi pengikut itu dan Rabi’atul-adawiyyah akan dijadikan tuan rumah atau pun jika ia tidak mau bolehlah ia meninggalkan rumah itu. Rabi’atul-adawiyyah berkata bahwa ia ingin mengasingkan dirinya dan meninggalkan rumah itu. Tuannya setuju. Rabi’atul-adawiyyah pun pergi. Suatu masa Rabi’atul-adawiyyah pergi naik haji ke Mekkah. Dibawanya barang-barangnya atas seekor keledai yang telah tua. Keledai itu mati di tengah jalan. teman seperjalannya bersepakat hendak membawa barang -barangnya itu tetapi beliau enggan karena katanya dia naik haji bukan di bawah perlindungan siapapun. Hanya perlindungan Allah S.W.T. Beliau pun tinggal seorang diri di situ. Rabi’atul-adawiyyah terus berdoa, “Oh Tuhan sekalian alam, aku ini sendirian, lemah dan tidak berdaya. Engkau juga yang menyuruhku pergi mengunjungi Ka’abah dan sekarang Engkau matikan keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah jalan.” Serta-merta dengan tidak disangka-sangka keledai itu pun hidup kembali. Diletaknya barang-barangnya di atas keledai itu dan terus menuju Mekkah. ketika hampir sampai Ka’abah, beliau pun duduk dan berdoa, “Aku ini hanya sekepal tanah dan Ka’abah itu rumah yang kuat. Maksudku ialah tolong Engkau temui aku tanpa perantara ya Robb.” Terdengar suara berkata, “Rabi’atul-adawiyyah, patutkah Aku balikkan dunia ini karena mu agar darah semua makhluk ini dituliskan namamu dalam suratan takdir? Tidakkah kamu tahu Nabi Musa pun ingin melihatKu? Aku sinarkan cahayaKu sedikit saja dan dia jatuh pengsan dan Gunung Sinai runtuh menjadi tanah hitam.”
0 Response to "Rabiah Adawiyah I"
Posting Komentar