Dalam langkah permulaan dalam perjalanan itu, mereka mengatasi semua nafsu dan cita-cita yang berkaitan dengan dunia dan akhirat. Mereka beruslah (mengucilkan diri) dari dunia hingga tidak ada siapapun yang mengetahui mereka. Begitulah mereka itu tidak mau dikenal dalam dunia ini.” Mendengar itu, Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Tuhanku! Biarkan aku tinggal di Ka’bah.” Ini pun tidak diberi kepada beliau. Beliau dibenarkan kembali ke Basrah dan menghabiskan umurnya di situ dengan sembahyang dan memencilkan diri dari orang ramai.
Suatu hari Rabi’atul-adawiyyah sedang duduk di rumahnya menunggu kedatangan seorang darwisy untuk makan bersamanya dengan maksud untuk melayani darwisy itu, Rabi’atul-adawiyyah meletakkan dua buah roti yang dibuatnya itu di hadapan darwisy itu. Darwisy itu terkejut karena tidak ada lagi makanan untuk Rabi’atul-adawiyyah. Tidak lama kemudian, dilihatnya seorang perempuan membawa sehidang roti dan memberinya kepada Rabi’atul-adawiyyah menyatakan tuannya menyuruh dia membawa roti itu kepada Rabi’atul-adawiyyah, Rabi’atul-adawiyyah bertanya berapa buah roti yang dibawanya itu. Perempuan itu menjawab, “Delapan belas.” Rabi’atul-adawiyyah tidak mahu menerima roti itu dan disuruhnya kembalikan kepada tuannya. Perempuan itu pergi. Kemudian datang lagi. Rabi’atul-adawiyyah menerima roti itu selepas diberitahu bahwa ada dua puluh buah roti dibawa perempuan itu. Darwisy itu bertanya kenapa Rabi’atul-adawiyyah enggan menerima dan kemudian menerima pula. Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Allah berfirman dalam Al-Quran : “Orang yang memberi dengan nama Allah maka Dia akan beri ganjaran sepuluh kali lipat. Oleh karena itu, saya terima hadiah apabila perintah dalam Al-Quran itu dilaksanakan.” Suatu hari Rabi’atul-adawiyyah sedang menyediakan makanan. Beliau teringat bahwa tidak punya sayur. Tiba-tiba jatuh bawang dari atas. Ditendangnya bawang itu sambil berkata, “Syaitan! Pergi jahanam dengan tipu-muslihatmu. Adakah Allah mempunyai kedai bawang?” Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Aku tidak pernah meminta dari siapapun kecuali dari Allah dan aku tidak terima sesuatu melainkan dari Allah.”
Suatu hari, Hassan Al-Basri melihat Rabi’atul-adawiyyah dikelilingi oleh binatang liar yang memandangnya dengan kasih sayang. Bila Hassan Al-Basri pergi menujunya, binatang itu lari. Hassan bertanya, “Kenapa binatang itu lari?” Sebagai jawaban, Rabi’atul-adawiyyah bertanya, “Apa kamu makan hari ini?” Hassan menjawab, “Daging.” Rabi’atul- adawiyyah berkata, Oleh karena kamu makan daging, mereka pun lari, aku hanya memakan roti kering.”
Suatu hari Rabi’atul-adawiyyah pergi berjumpa Hassan Al-Basri. Beliau sedang menangis terisak-isak karena lupa kepada Allah. Oleh karena hebatnya tangisan beliau itu, hingga air matanya mengalir dikolong rumahnya. Melihat hal itu, Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Janganlah tunjukkan perasaan sedemikian ini supaya batinmu penuh dengan cinta Allah dan hatimu tenggelam dalamnya dan kamu tidak akan mendapati di mana tempatnya.” Dengan penuh nafsu agar terkenal. suatu hari, Hassan yang sedang melihat Rabi’atul-adawiyyah dalam satu perkumpilan Aulia’ Allah, terus pergi bertemu dengan Rabi’atul-adawiyyah dan berkata, “Rabi’atul-adawiyyah, marilah kita meninggalkan perkumpulan ini dan marilah kita duduk di atas air sana dan berbincang hal-hal keruhanian di sana.” Beliau berkata dengan niat hendak menunjukkan karomahnya kepada orang lain bahwa ia dapat menguasai air (seperti Nabi Isa a.s. boleh berjalan di atas air). Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Hassan, buangkanlah perkara yang sia-sia itu. Jika kamu hendak memisahkan diri dari perkumpulan Aulia’ Allah, maka kenapa kita tidak terbang saja dan berbincang di udara?” Rabi’atul-adawiyyah berkata begini karena beliau bisa berbuat demikian tetapi Hassan tidak bisa seperti itu. Hassan meminta maaf. Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Ketahuilah bahwa apa yang kamu bisa lakukan, ikan pun bisa lakukan dan jika aku boleh terbang, lalat pun boleh terbang. Buatlah suatu yang lebih dari perkara yang luar biasa itu. marilah berjalan dalam ketaatan dan sopan-santun terhadap Allah.” Seorang hamba Allah bertanya kepada Rabi’atul-adawiyyah tentang perkara menikah. beliau menjawab, “Orang yang menikah itu ialah orang yang ada dirinya. Tetapi aku bukan menguasai badan dan nyawaku sendiri. Aku ini kepunyaan Tuhanku. Pintalah kepada Allah jika mau menikahiku.”
Hassan Al-Basri bertanya kepada Rabi’atul-adawiyyah bagaimana beliau mencapai taraf keruhanian yang tinggi itu. Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Aku hilang (fana) dalam mengenang Allah.” Beliau ditanya, “Dari mana kamu datang?” Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Aku datang dari Allah dan kembali kepada Allah.” Rabi’atul-adawiyyah pernah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad S.A.W. dan baginda bertanya kepadanya apakah beliau pernah mengingatnya sebagai sahabat. Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Siapa yang tidak kenal kepada tuan? Tetapi apalah dayaku. Cinta kepada Allah telah memenuhi seluruhku, hingga tidak ada ruang untuk cinta kepadamu atau benci kepada syaitan.” Demikian petikan dari cerita Rabiah adwiyah
yang menggambarkan betapa besar kecintaan Rabiah Adawiyah kepada Allah saat ia masih kecil hingga ia dewasa.
Rabi’ah adalah puteri yang keempat dari empat bersaudara. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabiah. Keberadaan cerita Rabiah sebagai cerita yang menarik dan populer pada zamannya banyak disadur dalam berbagai bahasa yakni cerita rabiah Adawiyah versi Arab, cerita rabiah Adawiyah versi Melayu, termasuk bahasa-bahasa di Nusantara salah satunya adalah cerita Rabiah Adawiyah yang ditulis dalam bahasa Bugis.
0 Response to "Rabiah Adawiyah II"
Posting Komentar