Seorang lelaki tua duduk di teras rumahnya, rumah mewah yang sangat besar, namun sepi penghuni. Istri sudah meninggal 2 tahun yang lalu karena menderita penyakit stroke dan darah tinggi, tangan bergetar karena lemah, penyakit menggerogoti sejak lama, duduk tak enak, berjalanpun tak nyaman, beruntung seorang kerabat jauh mau tinggal bersamanya, menemaninya bersama dengan seorang pembantu yang mengurus keperluannya.
Tiga
anaknya semua sukses, berpendidikan tinggi bahkan sampai kuliah di luar negeri.
Pekerjaan dan karier merekapun luar biasa, anak pertama bekerja di luar negeri,
anak kedua bekerja di perusahaan asing dengan jabatan yang tinggi dan anak
ketiga jadi pengusaha sukses. Soal ekonomi saya angkat empat jempol untuk
keluarga mereka. Semuanya kaya raya.
Namun
saat tua seperti ini, dia merasa hampa. Ada pilu mengiris di lubuk hatinya,
tidur tak nyenyak, bersantai tak nyaman, makan lezat serasa hambar.
Sering
dia memandangi foto-foto masa lalunya ketika dia masih perkas, masih energik
yang penuh dengan kenangan. Foto laki-laki gagah dengan keluarganya berlatar
belakang Great Wall, Effel Tower, Big Ben, Sydney Opera House dan berbagai
belahan bumi lainnya yang telah di jelajahinya. Di abadikan dengan foto dan
dibingkai indah namun tak lagi mampu dilihat karena pandangannya yang sudah
kabur.
Dirumahnya
yang besar, dia merasa kesepian, tiada suara istri, anak, dan cucu-cucunya,
hanya detak jam dinding yang berbunyi teratur. Punggungnya sering terasa sakit,
air liurnya sesekali keluar dari dari mulutnya, dari sudut matanya menetes air
mata.
Rindu…., rindu dikunjungi anak dan cucunya,
namun semua anaknya sibuk dan tinggal jauh di kota atau negara lain. Ingin
pergi ke masjid namun badan sudah capek, berjalan sedikit sudah gemetaran,
sudah terlanjur lemah, sudah lelah.
Begitu
lama waktu ini bergerak, tatapannya kosong, hanya gelisah yang menyeruak
sepanjang waktu.
Laki-laki
renta itu bisa jadi adalah saya, atau barangkali anda, yang sedang menunggu
ajal menjemput.
Rumah
besar tak mampu lagi menyenangkan hatinya, anak sukses tak mampu lagi
menyejukkan rumah mewahnya, cucu-cucunya seperti orang asing baginya, aset-asetnya
entah untuk siapa.
Jika
malaikat menjemput seperti apa kematiannya nanti ?, siapa yang menemani?,
menuntunya membaca ayat-ayat illahi?, siapa yang akan memandikannya?, dimana
akan dikuburkan?, sempatkah anak-anaknya datang mengurus jenasah dan
menguburkannya?, siapa yang akan membersihkan makamnya?.
Apa
yang akan dibawa ke akhirat nanti?, rumah mewah akan ditinggal, aset tak akan
dibawa, anak-anaknya apakah akan ingat mendoakan, sedang ibadah mereka sendiri
saja belum tentu dikerjakan.
Apa
lagi jika anak tak dididik tuntunan agama, ilmu agama hanya sebagai hiasan
saja. Kalaulah dulu sempat menyumbang, bersedekah, berinfaq ke tempat ibadah,
anak yatim atau panti asuhan. Kalaulah dulu melebihkan uang pada nenek tua yang
selalu datang menjual sayur, kalaulah dulu membelikan buah sebagai oleh-oleh
buat kerabat, sahabat dalam rangka silaturohmi. Kalaulah dulu tidak kikir,
mungkin itu bisa menjadi amal yang menemani kematiannya.
Kalaulah
dulu anak dididik ilmu agama sebagai
ilmu utama, ibadah dan sedekahnya di tuntun agar dilakukan dengan kesungguhan,
maka pasti mereka kini senantiasa akan terbangun malam untuk sholat, berdzikir,
meneteskan air mata mendoakan kedua orang tuanya, kalaulah dulu membagikan
ilmu dengan ikhlas kepada sesama
sehingga bermanfaat bagi banyak manusia
Kalaulah dulu….
Kalaulah dulu….
Mengapa kalaulah
dulu…
Kenapa tidak
sekarang… ?
Sebuah kesadaran
yang terlambat,
Mumpung belum terlambat, beribadah,
bershodaqoh, membagikan ilmu yang bermanfaat, mendidik anak- anak kita dengan
ilmu agama, adalah investasi terindah yang akan kita nikmati bila kita sudah
mati.
0 Response to "KISAH LELAKI TUA"
Posting Komentar