Goblok kamu ya…!” Kata Suamiku sambil melemparkan buku raport
sekolah Doni. Kulihat suamiku berdiri dari tempat duduknya dan kemudian dia
menarik kuping Doni dengan keras. Doni meringis. Tak berapa lama Suamiku pergi
kekamar dan keluar kembali membawa penepuk nyamuk. Dengan garang suamiku
memukul Doni berkali kali dengan penepuk nyamuk itu. Penepuk nyamuk itu
diarahkan kekaki, kemudian ke punggung dan terus, terus. Doni menangis “ Ampun, ayah...ampun ayah…” Katanya dengan
suara serak terisak isak. Wajahnya memancarkan rasa takut. Dia tidak meraung.
Doni ku tegar dengan siksaan itu. Tapi matanya memandangku. Dia membutuhkan
perlindunganku. Tapi aku tak sanggup karena aku tahu betul sifat suamiku. “Lihat
adik adikmu. Mereka semua pintar - pintar sekolah. Mereka rajin belajar. Ini
kamu anak tertua malah malas dan tolol, Mau jadi apa kamu nanti.. ?. Mau jadi
beban adik adik kamu ya…he.“ Kata suamiku dengan suara terengah engah kelelahan
memukuli Doni. Suamiku terduduk dikursi. Matanya kosong memandang kearah Doni
dan kemudian melirik kearah ku “ Kamu ajarin dia. Aku tidak mau lagi lihat raport
sekolahnya buruk. Dengar itu. “ Kata suamiku kepadaku sambil berdiri dan masuk
kekamar tidur.
Kupeluk Doni. Matanya memudar. Aku tahu dengan nilai raport
buruk dan tidak naik kelas saja dia sudah malu, apalagi di maki maki dan
dimarahi didepan adik adiknya. Dia malu sebagai anak tertua. Kembali matanya
memandangku. Kulihat dia butuh dukunganku. Kupeluk Doni dengan erat “ Anak
bunda, tidak tolol, anak bunda pintar kok, besok rajin ya belajarnya” kataku
mencoba menghibur dan menenangkannya. “ Doni udah belajar sungguh sungguh,
bunda, Bunda kan lihat sendiri. Tapi Doni memang enggak pintar seperti Ruli dan
Rini. Kenapa ya Bunda” Wajah lugunya membuatku terenyuh.. Aku menangis “ Doni,
pintar kok. Doni kan anak ayah. Ayah Doni pintar tentu Doni juga pintar “
ujarku. “ Doni bukan anak ayah.” Katanya dengan mata tertunduk “ Doni telah
mengecewakan Ayah, ya bunda “
Malamnya , adiknya Ruli yang sekamar dengannya
membangunkan kami karena ketakutan melihat Doni menggigau terus. Aku dan
suamiku berhamburan kekamar Doni. Kurasakan badannya panas. Kupeluk Doni dengan
sekuat jiwaku untuk menenangkannya. Matanya melotot kearah kosong. Kurasakan
badannya panas. Segera kukompres kepalanya dan suamiku segera menghubungi
dokter keluarga. Doni tak lepas dari pelukanku “ Anak bunda, buah hati bunda,
kenapa sayang, ini bunda,..” Kataku sambil terus membelai kepalanya. Tak berapa
lama matanya mulai redup dan terkulai. Dia mulai sadar. Doni membalas
pelukanku. “ Bunda, temani Doni tidur ya." Katanya sayup sayup. Suamiku
hanya menghelap nafas. Aku tahu suamiku merasa bersalah karena kejadian siang
tadi.
Doni adalah putra tertua kami. Dia lahir memang ketika
keadaan keluarga kami sedang sulit. Suamiku ketika itu masih kuliah dan bekerja
serabutan untuk membiayai kuliah dan rumah tangga. Ketika itulah aku hamil
Doni. Mungkin karena kurang gizi selama kehamilan tidak membuat janinku tumbuh
dengan sempurna. Kemudian, ketika Doni lahir kehidupan kami masih sangat sederhana.
Masa balita Doni pun tidak sebaik anak anak lain. Diapun kurang gizi. Tapi
ketika usianya dua tahun, kehidupan kami mulai membaik seiring usainya kuliah
suamiku dan mendapatkan karir yang bagus di BUMN. Setelah itu aku kembali hamil
dan Ruli lahir., juga laki laki dan dua tahun setelah itu, Rini lahir, adik
perempuannya. Kedua putra putriku yang lahir setelah Doni mendapatkan
lingkungan yang baik dan gizi yang baik pula. Makanya mereka disekolah pintar
pintar. Makanya aku tahu betul bahwa kemajuan generasi ditentukan oleh
ketersediaan gizi yang cukup dan lingkungan yang baik.
Tapi keadaan ini tidak pernah mau diterima oleh Suamiku.
Dia punya standar yang tinggi terhadap anak - anaknya. Dia ingin semua anaknya
seperti dia. Pintar dan cerdas. “ Masalah Doni bukannya dia tolol, tapi dia
malas. itu saja. “ Kata suamiku berkali kali. Seakan dia ingin menepis tesis
tentang ketersediaan gizi sebagai pendukung anak jadi cerdas. “ Aku ini dari
keluarga miskin. Manapula aku ada gizi cukup. Mana pula orang tuaku ngerti soal
gizi. Tapi nyatanya aku berhasil. “ Aku tak bisa berkata banyak untuk
mempertahankan tesisku itu.
Seminggu setelah itu, suamiku memutuskan untuk mengirim
Doni kepesantren. Aku tersentak.“ Apa alasan Mas mengirim Doni ke Pondok
Pesantren “ tanyaku, “ Biar dia bisa dididik dengan benar” jawab suamiku, “
Apakah dirumah dia tidak mendapatkan itu” tanyaku meyakinkan, “ Ini sudah
keputusanku, titik.” Jawab suamiku keras. “ Tapi kenapa , Mas ” Aku berusaha
ingin tahu alasan dibalik itu. Suamiku hanya diam. Aku tahu alasannya. Dia
tidak ingin ada pengaruh buruk kepada kedua putra putri kami. Dia malu dengan
tidak naik kelasnya Doni. Suamiku ingin memisahkan Doni dari adik adiknya agar
jelas mana yang bisa diandalkannya dan mana yang harus dibuangnya. Mungkinkah
itu alasannya. Bagaimanapun , bagiku Doni akan tetap putraku dan aku akan
selalu ada untuknya. Aku tak berdaya. Suamiku terlalu pintar bila diajak
berdebat.
Ketika Doni mengetahui dia akan dikirim ke Pondok
Pesantren, dia memandangku. Dia nanpak bingung. Dia terlalu dekat denganku dan
tak ingin berpisah dariku. Dia peluk aku “ Doni engga mau jauh jauh dari bunda”
Katanya. Tapi seketika itu juga suamiku membentaknya “ Kamu ini laki laki,
tidak boleh cengeng, tidak boleh hidup dibawah ketikak ibumu., Ngerti… Kamu harus ikut kata Ayah.
Besok Ayah akan urus kepindahan kamu ke Pondok Pesantren. “
Setelah Doni berada di Pondok Pesantren setiap hari aku
merindukan buah hatiku. Tapi suamiku nampak tidak peduli. “ Kamu tidak boleh
mengunjunginya di pondok. Dia harus diajarkan mandiri. Tunggu saja kalau
liburan, dia akan pulang” Kata suamiku tegas seakan membaca kerinduanku untuk
mengunjungi Doni.
Tak terasa Doni kini sudah kelas 3 Madrasah Aliyah atau
setingkat SMU. Ruli kelas 1 SMU dan Rini kelas 2 SLP. Suamiku tidak pernah
bertanya soal Raport sekolahnya. Tapi aku tahu raport sekolahnya tak begitu
bagus tapi juga tidak begitu buruk. Bila liburan Doni pulang kerumah, Doni
lebih banyak diam. Dia makan tak pernah berlebihan dan tak pernah bersuara
selagi makan sementara adiknya bercerita banyak soal disekolah dan suamiku
menanggapi dengan tangkas untuk mencerahkan. Walau dia satu kamar dengan
adiknya namun kamar itu selalu dibersihkannya setelah bangun tidur. Tengah
malam dia bangun dan sholat tahajud dan berzikir sampai sholat subuh.
Ku purhatikan tahun demi tahu perubahan Doni setelah
mondok. Dia berubah dan berbeda dengan adik adiknya. Dia sangat mandiri dan
hemat berbicara. Setiap hendak pergi keluar rumah, dia selalu mencium tanganku
dan setelah itu memelukku. Beda sekali dengan adik adiknya yang serba cuek
dengan gaya hidup modern didikan suamiku.
Setamat Madrasa Aliyah, Doni kembali tinggal dirumah.
Suamiku tidak menyuruhnya melanjutkan ke Universitas. “ Nilai rapor dan
kemampuannya tak bisa masuk universitas. Sudahlah. Aku tidak bisa mikir soal
masa depan dia. Kalau dipaksa juga masuk Universitas akan menambah beban
mentalnya. “ Demikian alasan suamiku. Aku dapat memaklumi itu. Namun suamiku
tak pernah berpikir apa yang harus diperbuat Doni setelah lulus dari pondok.
Donipun tidak pernah bertanya. Dia hanya menanti dengan sabar.
Selama setahun setelah Doni tamat dari mondok, waktunya
lebih banyak di habiskan di Masjid. Dia terpilih sebagai ketua Remaja Islam
Masjid. Doni tidak memilih Masjid yang berada di komplek kami tapi dia memilih
masjid diperkampungan yang berada dibelakang komplek. Mungkin karena inilah
suamiku semakin kesal dengan Doni karena dia bergaul dengan orang kebanyakan.
Suamiku sangat menjaga reputasinya dan tak ingin sedikitpun tercemar. Mungkin
karena dia malu dengan cemoohan dari tetangga maka dia kadang marah tanpa
alasan yang jelas kepada Doni. Tapi Doni tetap diam. Tak sedikitpun dia membela
diri.
Suatu hari yang tak pernah kulupakan adalah ketika polisi
datang kerumahku. Polisi mencurigai Doni dan teman temannya mencuri di rumah
yang ada di komplek kami. Aku tersentak. Benarkah itu. Doni sujud di kakiku
sambil berkata “ Doni tidak mencuri Bunda, tidak, Bunda percayakan dengan Doni.
Kami memang sering menghabiskan malam di masjid tapi tidak pernah keluar untuk
mencuri.” Aku meraung ketika Doni dibawa kekantor polisi. Suamiku dengan segala
daya dan upaya membela Doni. Alhamdulilah Doni dan teman temannya terbebaskan
dari tuntutan itu. Karena memang tidak ada bukti sama sekali. Mungkin ini akibat
kekesalan penghuni komplek oleh ulah Doni dan kawan kawan yang selalu berzikir
dimalam hari dan menggangu ketenangan tidur.
Tapi akibat kejadian itu , suamiku mengusir Doni dari
rumah. Doni tidak protes. Dia hanya diam dan menerima keputusan itu. Sebelum
pergi dia rangkul aku ” Bunda , Maafkanku. Doni belum bisa berbuat apapun untuk
membahagiakan bunda dan Ayah. Maafkan Doni “ Pesannya. Diapun memandang adiknya
satu satu. Dia peluk mereka satu persatu “ Jaga bunda ya. Mulailah sholat dan
jangan tinggalkan sholat. Kalian sudah besar .” demikian pesan Doni. Suamiku
nampak tegar dengan sikapnya untuk mengusir Doni dari rumah. “ Mas, Dimana Doni
akan tinggal. “ Kataku dengan batas kekuatan terakhirku membela Doni.“ Itu
bukan urusanku. Dia sudah dewasa. Dia harus belajar bertanggung jawab dengan
hidupnya sendiri.”
Tak terasa sudah enam tahun Doni pergi dari rumah. Setiap
bulan dia selalu mengirim surat kepadaku. Dari suratnya kutahu Doni berpindah
pindah kota. Pernah di Bandung, Jakarta, Surabaya dan tiga tahun lalu dia
berangkat ke luar negeri. Bila membayangkan masa kanak kanaknya kadang aku
menangis. Aku merindukan putra sulungku. Setiap hari kami menikmati fasilitas
hidup yang berkecukupan. Ruli kuliah dengan kendaraan bagus dan ATM yang berisi
penuh. Rinipun sama. Karir suamiku semakin tinggi. Lingkungan sosial kami
semakin berkelas. Tapi, satu putra kami pergi dari kami. Entah bagaimana
kehidupannya. Apakah dia lapar. Apakah dia kebasahan ketika hujan karena tidak
ada tempat bernaung. Namun dari surat Doni , aku tahu dia baik baik saja. Dia
selalu menitipkan pesan kepada kami, “ Jangan tinggalkan sholat. Dekatlah
kepada Allah maka Allah akan menjaga kita siang dan malam. “
Prahara datang kepada keluarga kami. Suamiku tersangkut
kasus korupsi. Selama proses pemeriksaan itu suamiku tidak dibenarkan masuk
kantor. Dia dinonaktifkan. Selama proses itupula suamiku nampak murung, kesehatannya
mulai terganggu. Suamiku mengidap hipertensi. Dan puncaknya, adalah ketika
Polisi menjemput suamiku di rumah. Suamiku terbukti melakukan tindak pidana
korupsi. Rumah dan semua harta yang selama ini dikumpulkan disita oleh negara.
Media massa memberitakan itu setiap hari. Reputasi yang selalu dijaga oleh
suamiku selama ini ternyata dengan mudah hancur berkeping keping. Harta yang
dikumpul, sirna seketika. Kami sekeluarga menjadi pesakitan. Ruli malas untuk
terus kuliah karena malu dengan teman temannya. Rini juga sama yang tak ingin
terus kuliah.
Kini suamiku dipenjara dan anak anak jadi bebanku dirumah
kontrakan. Ya walau mereka sudah dewasa namun mereka menjadi bebanku. Mereka
tak mampu untuk menolongku. Baru kutahu bahwa selama ini kemanjaan yang
diberikan oleh suamiku telah membuat mereka lemah untuk survival dengan segala
kekurangan. Maka jadilah mereka bebanku ditengah prahara kehidupan kami. Pada
saat inilah aku sangat merindukan putra sulungku. Ditengah aku sangat
merindukan itulah aku melihat sosok pria gagah berdiri didepan pintu rumah.
Doniku ada didepanku dengan senyuman khasnya. Dia
menghambur kedalam pelukanku. “ Maafkan aku bunda, Aku baru sempat datang
sekarang sejak aku mendapat surat dari bunda tentang keadaan ayah. “ katanya.
Dari wajahnya kutahu dia sangat merindukanku. Rini dan Ruli juga segera memeluk
Doni. Mereka juga merindukan kakaknya. Hari itu, kami berempat saling
berpelukan untuk meyakinkan kami akan selalu bersama sama.
Kehadiran Doni dirumah telah membuat suasana menjadi
lain. Dengan bekal tabungannya selama bekerja diluar negeri, Doni membuka usaha
percetakan dan reklame. Aku tahu betul sedari kecil dia suka sekali menggambar
namun hobi ini selalu di cemooh oleh ayahnya. Doni mengambil alih peran ayahnya
untuk melindungi kami. Tak lebih setahun setelah itu, Ruli kembali kuliah dan
tak pernah meninggalkan sholat dan juga Rini. Setiap maghrib dan subuh Doni
menjadi imam kami sholat berjamaah dirumah. Seusai sholat berjamaah Doni tak
lupa duduk bersilah dihadapan kami dan berbicara dengan bahasa yang sangat
halus , beda sekali dengan gaya ayahnya. “ Manusia tidak dituntut untuk
terhormat dihadapan manusia tapi dihadapan Allah. Harta dunia, pangkat dan
jabatan tidak bisa dijadikan tolok ukur kehormatan. Kita harus berjalan dengan
cara yang benar dan itulah kunci meraih kebahagiaan dunia maupun akhirat.
Itulah yang harus kita perjuangkan dalam hidup agar mendapatkan kemuliaan
disisi Allah. . Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita. Apakah ada
yang lebih hebat menjaga kita didunia ini dibandingkan dengan Allah. “. “ Apa
yang menimpa keluarga kita sekarang bukanlan azab dari Allah. Ini karena Allah
cinta kepada Ayah. Allah cinta kepada kita semua karena kita semua punya peran
hingga membuat ayah terpuruk dalam perbuatan dosa sebagai koruptor. Allah
sedang berdialog dengan kita tentang sabar dan ikhlas, tentang hakikat
kehidupan, tentang hakikat kehormatan. Kita harus mengambil hikmah dari ini
semua untuk kembali kepada Allah dalam sesal dan taubat. Agar bila besok ajal
menjemput kita, tak ada lagi yang harus disesalkan, Karna kita sudah sangat
siap untuk pulang keharibaan Allah dengan bersih. “
Seusai Doni berbicara , aku
selalu menangis. Doni yang tidak pintar sekolah, tapi Allah mengajarinya untuk
mengetahui rahasia terdalam tentang kehidupan dan dia mendapatkan itu untuk
menjadi pelindung kami dan menuntun kami dalam taubah. Ini jugalah yang mempengaruhi
sikap suamiku dipenjara. Kesehatannya membaik. Darah tingginya tak lagi sering
naik. Dia ikhlas dan sabar , dan tentu karena dia semakin dekat kepada Allah.
Tak pernah tinggal sholat sekalipun. Zikir dan linangan airmata sesal akan
dosanya telah membuat jiwanya tentram. Mahasuci Allah , terimakasih anakku...
( Sumber : FB Thontowi J )
0 Response to "KISAH KORUPTOR DAN ANAK TINGGAL KELAS"
Posting Komentar